Dalam tulisan ini, kita mengulas salah satu paroki yang lebih tua di Jakarta Barat, yaitu Paroki Grogol. Paroki ini sejak didirikan beberapa dekade lalu telah melahirkan Paroki Tomang dan Paroki Kedoya yang kita bahas baru-baru ini. Terletak di kawasan padat penduduk di Jelambar, Gereja Santo Kristoforus berdiri kokoh di wilayah yang sejak lama dikenal rawan banjir ini, terutama karena lokasinya yang tidak jauh dari Kali Grogol. Saat musim hujan tiba, umat terkadang harus berjalan melalui genangan air setinggi 30 sampai 40 cm hanya untuk bisa mengikuti Misa. Meskipun proyek normalisasi sungai telah mengurangi frekuensi banjir secara signifikan, risiko banjir tetap menjadi tantangan yang harus dihadapi masyarakat sekitar. Sesuai dengan namanya, gereja ini mengambil inspirasi dari Santo Kristoforus, sosok yang memiliki makna mendalam bagi mereka yang menghadapi kesulitan akibat air. Dalam tradisi Katolik, Santo Kristoforus dikenal sebagai pelindung para pengembara, khususnya mereka yang menyeberangi perairan berbahaya. Menurut legenda, Santo Kristoforus pernah menggendong Yesus kecil menyeberangi sungai yang deras, sehingga nama Yunani-nya, Hágios Christóphoros, berarti “pembawa Kristus.” Sebagai pelindung dalam perjalanan berat, peranan Santo Kristoforus sangat dirasakan oleh umat paroki ini, yang selama puluhan tahun telah berani menghadapi banjir demi menjaga api iman tetap menyala.
 |
Paroki Grogol terletak di wilayah pemukiman padat penduduk yang seringkali mengalami banjir
|
 |
Laksana bahtera yang mengarungi banjir, gereja ini mencerminkan semangat Santo Kristoforus
|
Seperti Paroki Kedoya yang dibahas dalam tulisan sebelumnya, paroki ini juga dilayani oleh para Misionaris Hati Kudus Yesus (Latin: Missionarii Sacratissimi Cordis, MSC). Asal-usul Paroki Grogol bermula pada tahun 1960, ketika umat Katolik di wilayah Grogol dan sekitarnya (termasuk Tomang, Kedoya, Jelambar, Kebon Jeruk, dan Tanjung Duren) mulai merencanakan tempat ibadat yang lebih dekat dengan lingkungan mereka. Pada waktu itu, wilayah-wilayah tersebut masih termasuk dalam Paroki Kemakmuran di Jakarta Pusat dan menghadapi kesulitan untuk mengakses Gereja Santa Perawan Maria Ratu dikarenakan keterbatasan transportasi umum. Seiring pertumbuhan jumlah umat Katolik dan keterbatasan daya tampung gereja di Paroki Kemakmuran, perayaan Ekaristi pertama di Grogol pun dilaksanakan di sebuah rumah pribadi pada tahun 1962. Tahun berikutnya, pada 1963, secara resmi ditetapkanlah Stasi Grogol oleh Keuskupan Agung Jakarta yang juga mengalokasikan sebidang tanah untuk pembangunan gereja di lokasi yang sekarang, menandai awal dari perjalanan penuh harapan menuju berdirinya sebuah gereja paroki yang lebih dekat bagi umat Katolik yang terus bertambah di wilayah Grogol dan sekitarnya.
 |
Untuk meningkatkan kapasitas dan memitigasi risiko banjir, gereja ini menjalani renovasi besar pada tahun 2021
|
 |
Kini Gereja Santo Kristoforus ini dapat menampung 1.200 umat selama Misa |
|
Hanya setahun setelahnya, pada 12 Agustus 1964, Paroki Grogol resmi memperoleh status paroki penuh dari Keuskupan Agung Jakarta. Pembangunan gereja dimulai pada bulan Juli 1967 di bawah pimpinan Pastor H. Kemper, MSC, dengan rancangan arsitektur oleh Dr. Ir. Bianpoen. Bangunan gereja mengusung gaya arsitektur modern dengan bentuk menyerupai bahtera yang melambangkan sarana keselamatan di tengah kawasan Grogol yang rawan banjir. Gereja ini diberkati pada 22 November 1970 oleh Uskup Agung Leo Soekoto, S.J. Selama bertahun-tahun, gereja mengalami beberapa kali renovasi untuk menampung semakin banyak umat dan salah satu renovasi besar dilakukan pada tahun 2021, yang menghasilkan pembangunan gedung gereja yang baru. Bangunan baru ini diberkati dan diresmikan pada 12 Desember 2023 oleh Kardinal Ignatius Suharyo. Arsitektur yang sekarang tetap mempertahankan bentuk menyerupai bahtera yang ikonik dari gereja lamanya, yang mencerminkan ketangguhan paroki dan perlindungan dari Santo Kristoforus sebagai pelindungnya. Sebuah gua Maria yang baru dan modern kini terletak di samping pintu utama gereja yang besar. Di atas patung Maria terdapat tulisan: “Sancta Maria Mater Immaculata Ora Pro Nobis”, yang berarti “Santa Maria, Bunda Tak Bernoda, doakanlah kami.” Sementara di pintu masuk gua tertulis “Per Mariam ad Jesum” atau “Melalui Maria kepada Yesus.” Kalimat dalam bahasa Latin ini merangkum makna mendalam dalam devosi Katolik: bahwa Maria, Bunda Yesus, dengan lembut membimbing umat menuju Putranya. Tulisan tersebut mengajak setiap pengunjung untuk mengalami Kristus melalui teladan, doa, dan kasih Maria, dan menjadi sebuah pengingat yang tenang namun kuat bahwa devosi kepada Maria selalu berpusat pada Kristus.
 |
Bentuk menyerupai bahteranya tetap dipertahankan, namun bagian dalamnya kini lebih modern |
|
 |
Gereja ini menjadi salah satu yang paling modern selama Tahun Yubileum ini |
|
Di depan gereja, tepat di samping kompleks Sekolah Katolik Santo Kristoforus, berdiri sebuah patung mencolok yang menggambarkan Santo Kristoforus menggendong Kanak-kanak Yesus di atas bahunya. Dengan tongkat di tangan dan gelombang yang terpahat di bawah kakinya, patung ini menggambarkan kekuatan iman sekaligus misi perlindungan, seolah menjadi penjaga sunyi di gerbang paroki. Visual yang kuat ini menghidupkan kembali kisah legendaris sang santo yang membawa para pengelana menyeberangi perairan berbahaya dengan aman, sebuah simbol yang tepat untuk paroki yang telah lama akrab dengan tantangan banjir. Patung ini dibuat oleh Pastor Boelaars, MSC, seorang imam, antropolog, dan misionaris asal Belanda dari Kongregasi Misionaris Hati Kudus Yesus. Karya-karyanya telah memperkaya kehidupan artistik dan devosional di banyak gereja di Indonesia. Pastor Boelaars dikenal luas, bukan hanya karena karya akademisnya di bidang antropologi budaya—khususnya yang berkaitan dengan tradisi dan adat lokal Indonesia—tetapi juga karena kontribusinya di bidang seni. Ia menciptakan berbagai patung religius, karya seni, dan instalasi gereja di berbagai daerah, terutama di Jawa Tengah dan Jakarta.
 |
Gua Maria yang modern ini menjadi simbol devosi kepada Yesus Kristus melalui Bunda Maria |
|
 |
Sang Pembawa Kristis berdiri kokoh, melambangkan ketegaran dalam menghadapi tantangan |
|
Gereja Santo Kristoforus mudah diakses dengan transportasi umum. Bagi yang menggunakan LRT, cukup turun di Stasiun Grogol dan lanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 15 menit menuju gereja. Alternatif lainnya, jika menggunakan TransJakarta, Anda bisa turun di Halte Jelambar, yang juga berjarak sekitar 15 menit berjalan kaki. Paroki Grogol, yang pernah melahirkan Paroki Tomang dan Paroki Kedoya, terus berkembang hingga kini. Saat ini, paroki ini juga menaungi Gereja Stasi Santo Polikarpus, yang diresmikan pada tahun 2011 dan memiliki kapasitas sekitar 700 tempat duduk. Dari awal yang sederhana di lingkungan rawan banjir hingga kini berdiri kokoh dengan bentuk gereja menyerupai bahtera, Paroki Santo Kristoforus menjadi saksi iman, ketekunan, dan perlindungan—benar-benar mencerminkan warisan pelindungnya, sang pembawa Kristus.
Paroki Grogol
Gereja Santo Kristoforus
Lokasi Jalan Satria IV Blok C No 68, Jelambar, Grogol Petamburan, Jakarta Barat
Jadwal Misa Mingguan
Sabtu, 16.30 WIB
Minggu, 07.00 WIB, 10.00 WIB, 16.30 WIB
Comments
Post a Comment