Salah satu paroki lain yang berada di bawah Dekanat Jakarta Barat II Keuskupan Agung Jakarta adalah Paroki Kedoya, yang wilayahnya langsung berbatasan dengan Paroki Tomang yang telah kami bahas dalam tulisan sebelumnya. Sama seperti Tomang, Paroki Kedoya juga merupakan hasil pemekaran dari Paroki Grogol, yang dibentuk hanya beberapa tahun setelahnya. Terletak di kawasan perumahan Green Garden, Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, paroki ini hadir sebagai respons terhadap pertumbuhan jumlah umat Katolik di wilayah tersebut pada akhir tahun 1970-an. Pada awalnya, pelayanan ibadat dimulai sebagai sebuah stasi pada tahun 1982, dan dilakukan di berbagai tempat sementara—mulai dari rumah umat, ruko, sekolah Kristen, hingga gereja Protestan. Ketekunan umat pun membuahkan hasil ketika status paroki penuh secara resmi diberikan pada tanggal 26 November 1986, menjadi tonggak penting dalam sejarah komunitas Katolik di kawasan ini. Santo Andreas dipilih sebagai pelindung paroki, bertepatan dengan peringatan pestanya yang jatuh pada 30 November. Paroki Kedoya dilayani oleh para imam dari Kongregasi Misionaris Hati Kudus Yesus (Latin: Missionarii Sacratissimi Cordis, MSC). Sejak awal berdirinya, paroki ini senantiasa berada di bawah penggembalaan para imam MSC, dengan dukungan dari para Suster Hati Kudus (HK) dalam berbagai kegiatan pastoral dan kemasyarakatan.
 |
Paroki Kedoya terletak di kawawan hunian di Kedoya, Jakarta Barat |
 |
Gereja dan kompleks parokinya menampilkan tata letak yang unik dan asimetris
|
Desain awal gereja ini kembali dipercayakan kepada Han Awal & Partners—firma arsitektur yang sama yang menangani Gereja MBK—sekitar pertengahan tahun 1989. Tujuannya adalah untuk menggantikan bangunan gereja sementara (bedeng) yang juga dibangun pada tahun itu. Namun, adanya proyek infrastruktur jalan tiba-tiba mengubah bentuk lahan, sehingga menghasilkan sebidang tanah yang terpotong dan tidak beraturan. Perubahan tak terduga ini memaksa para arsitek untuk merancang ulang desain bangunan agar sesuai dengan kondisi baru tersebut. Konsep arsitektur yang direvisi mengusung desain organik yang fungsional, inklusif, nyaman, dan responsif terhadap iklim tropis. Dinding gereja dilapisi dengan batu alam untuk menghadirkan kesan kekuatan dan kestabilan. Plafonnya yang berlipat-lipat sering kali mengingatkan pengunjung pada layar kapal, meskipun sebenarnya desainnya terinspirasi dari simbol tradisional Hindu yaitu Makara atau mahkota. Setelah memperoleh izin pembangunan dari Gubernur Jakarta pada tahun 1993, konstruksi pun dimulai pada bulan Juni tahun yang sama. Enam belas bulan kemudian, pada tanggal 26 November 1994, Gereja Santo Andreas resmi selesai dan diresmikan oleh Uskup Agung Mgr. Leo Soekoto, S.J., bersama Walikota Jakarta Barat, Drs. Sutardjianto. Secara arsitektural, gereja ini acap kali dinilai menonjol sebagai salah satu yang paling mencolok di kawasan Asia Tenggara—dengan bentuk yang sangat asimetris dan tampilan yang khas.
 |
Nilai-nilai tradisional dan pertimbangan iklim turut menjadi pertimbangan dalam desainnya
|
 |
Balkon yang terletak di bagian belakang turut menambah kapasitas gereja ini
|
Selama bertahun-tahun, gereja mengalami beberapa tahap perluasan dan renovasi guna melayani komunitas umat yang terus berkembang. Pada tahun 2003, paroki membangun Gedung Santo Thomas Aquinas setinggi tiga lantai untuk menampung Sekolah Katolik Santo Andreas yang berada di sebelahnya. Pada tahun yang sama, sebidang tanah tambahan juga diakuisisi untuk membantu mengatasi kendala parkir saat perayaan hari besar. Sebuah tonggak penting juga dicapai dengan selesainya pembangunan Wisma Siti Mariam pada tahun 2005, yang kemudian diresmikan pada tahun 2006. Lebih dari sekadar fasilitas serbaguna, Wisma Siti Mariam dihadirkan sebagai ruang untuk keterlibatan komunitas dan dialog antaragama—mewakili komitmen paroki terhadap harmoni dan kerja sama di tengah nuansa keberagaman di Jakarta. Sejak saat itu, aula ini telah menjadi tempat berbagai program yang mendorong saling pengertian antarumat beragama. Di belakang gereja, terdapat sebuah gua Maria yang menawarkan ruang tenang untuk doa pribadi. Tidak seperti struktur gua tradisional yang menyerupai ceruk batu, tempat ini dirancang sebagai tempat ziarah terbuka dengan peneduh yang melindungi para peziarah dari terik matahari. Umat juga dapat merenungkan Jalan Salib yang dapat dijumpai di luar ruangan mengelilingi gedung gereja yang dirancang dengan indah, menambah suasana rohani di lingkungan gereja.
 |
Setiap sisi bangunan gereja memiliki panjang berbeda untuk menyesuaikan dengan lahan yang ada
|
 |
Gua Maria ini terletak di udara terbuka, tidak seperti Gua Maria pada umumnya
|
Sebuah patung Santo Andreas berdiri di halaman gereja, bersandar pada salib berbentuk X—dikenal sebagai saltire—yang melambangkan kemartirannya. Menurut tradisi, Santo Andreas disalibkan pada crux decussata, kini dikenal luas sebagai Salib Santo Andreas, atas permintaannya sendiri karena ia merasa tidak layak mati pada salib yang serupa seperti Yesus. Lahir di Betsaida, Galilea, pada abad pertama, Andreas awalnya adalah seorang murid Yohanes Pembaptis. Setelah bertemu Yesus dan mengenali-Nya sebagai Mesias, Andreas segera mencari saudaranya, Simon Petrus, dan memperkenalkannya kepada Yesus—sebuah tindakan yang nantinya akan sangat memengaruhi perkembangan iman Kristen. Kedua bersaudara itu bekerja sebagai nelayan. Suatu hari, ketika mereka sedang menebar jala di Danau Galilea, Yesus memanggil mereka dan berkata, “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia” (Matius 4:19). Tanpa ragu, Andreas dan Simon Petrus meninggalkan jala mereka dan mengikuti-Nya, menjadi dua murid pertama dalam kelompok keduabelas rasul. Dari Santo Andreas, kita diingatkan akan kekuatan sunyi dalam kedisiplinan seorang murid sejati—yang tidak ditandai oleh ketenaran, melainkan oleh kesetiaan. Kesediaannya untuk membawa orang lain kepada Kristus, kerendahan hatinya dalam menyadari ketidaklayakannya, dan keberaniannya untuk mengikuti Yesus hingga mati, semuanya mencerminkan makna sejati hidup sebagai saksi Injil.
 |
Jalan Salib ini diresmikan dan diberkati pada tanggal 30 April 2017
|
 |
Santo Andreas dan salibnya yang berbentuk X, simbol pengorbanan hidupnya
|
Gereja Santo Andreas di Kedoya berdiri sebagai penghormatan hidup atas nilai-nilai tersebut—menjadi rumah rohani bagi umat beriman yang dipanggil untuk meneruskan misi kesaksian, kerendahan hati, dan evangelisasi di tengah lanskap perkotaan yang terus berkembang. Pada saat yang sama, paroki ini merangkul perannya yang lebih luas dalam masyarakat pluralistik Jakarta dengan mendorong dialog antaragama dan semangat saling menghormati, membangun jembatan perdamaian di jantung kota. Dengan akar yang kuat dalam tradisi iman dan pandangan yang terbuka terhadap dunia modern, Paroki Santo Andreas terus melangkah maju sebagai komunitas yang hidup, peduli, dan berbelarasa. Di sinilah umat diajak untuk tidak hanya memperdalam relasi mereka dengan Tuhan, tetapi juga menjadi terang dan garam bagi lingkungan sekitar—sebuah panggilan abadi yang tetap relevan hingga hari ini.
Paroki Kedoya
Gereja Santo Andreas
Lokasi Green Garden Blok J5 No1, Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat
Jadwal Misa Mingguan
Sabtu, 16.30 WIB
Minggu, 06.00 WIB, 08.30 WIB, 11.00 WIB, 16.30 WIB
Comments
Post a Comment