Saat melakukan check-in online sehari sebelum keberangkatan, saya baru mengetahui bahwa penerbangan lanjutan saya ke Bangkok mengalami penjadwalan ulang. Alhasil, saya kini memiliki waktu transit selama 9 jam lebih di Singapura. Dengan waktu persiapan kurang dari 24 jam, saya harus cepat-cepat menyusun rencana baru. Awalnya, saya berniat menjelajahi berbagai atraksi terkenal di Bandara Changi. Namun dengan tambahan waktu tak terduga ini, saya memutuskan untuk membatalkan rencana tersebut dan memilih untuk menyempatkan diri mampir ke pusat kota. Meski begitu, saya tetap berencana menyempatkan diri untuk singgah ke Jewel Changi Airport setelah kembali ke bandara, meskipun tidak sempat mengunjungi instalasi lainnya kali ini, sebelum melanjutkan penerbangan saya ke Bangkok. Meski terdengar cukup longgar, saya harus merencanakan waktu saya dengan cermat untuk berbagai aktivitas termasuk menitipkan tas terlebih dahulu di bandara, memperhitungkan waktu tempuh antar lokasi, istirahat makan siang dan malam, proses imigrasi, dan memastikan saya kembali ke bandara jauh sebelum waktu boarding, agar sempat mampir ke Jewel. Karena saya tidak mengaktifkan roaming data selama di Singapura, situasinya menjadi sedikit lebih rumit karena saya terbiasa bergantung pada Google Maps saat bepergian. Untuk memaksimalkan waktu yang terbatas, saya menggunakan Singapore Tourist Pass 1 Hari yang memungkinkan saya naik MRT sepuasnya. Kartu ini sangat membantu untuk mobilitas dari dan ke bandara serta antar lokasi wisata. Karena saya juga merencanakan kunjungan singkat ke beberapa gereja selama di Singapura, saya memutuskan untuk memulai penjelajahan saya di Fort Canning Park, taman kota yang terletak tepat di atas stasiun MRT Fort Canning.
 |
Taman yang sangat rindang ini berawal dari pembangunan kebun raya yang tidak berhasil  | Perjalanan hari dimulai di Bukit Fort Canning di pusat kota Singapura ini
|
|
Banyak orang menyebut Fort Canning Park sebagai “Central Park-nya Singapura,” tetapi taman ini juga menyimpan nilai sejarah yang erat kaitannya dengan asal mula negara ini. Taman ini berada di atas Bukit Fort Canning, sebuah bukit setinggi 48 meter yang terletak di jantung kawasan bisnis Singapura. Dahulu, bukit ini dikenal dengan nama Bukit Larangan, karena diyakini sebagai pusat kerajaan Melayu abad ke-14 dan tempat peristirahatan terakhir para penguasa kuno. Karena kesakralannya, warga lokal menghindari bukit ini selama berabad-abad karena diyakini angker. Setelah penandatanganan Perjanjian Singapura pada 6 Februari 1819, Mayor William Farquhar bersama sekelompok warga Melayu Malaka membuka jalan ke puncak bukit untuk mengibarkan bendera Inggrisnyang menandai awal mula Singapura sebagai pemukiman kolonial. Bukit ini kemudian dikenal sebagai Bukit Singapura. Pada tahun 1822, Sir Stamford Raffles memerintahkan pembangunan rumah tinggal di atas bukit tersebut yaitu sebuah bangunan kayu dengan bentuk atap khas rumah tinggal Asia Tenggara. Bangunan ini kemudian diperluas pada tahun 1824 dan digunakan sebagai kediaman resmi para Residen dan Gubernur Singapura yang dikenal sebagai Government House, sehingga nama bukit pun berubah menjadi Government Hill. Pada tahun 1859, bangunan tersebut dibongkar dan dipindahkan untuk memberi ruang bagi pembangunan sebuah benteng pertahanan, Fort Canning, nama benterng itu menjadi nama yang melekat pada bukit ini hingga saat ini.
 |
Pada mulanya bukit ini dikenal sebagai Bukit Larangan oeh masyarakat sekitar
 | Di sini terdapat replika kediaman Raffles di Fort Canning setelah meninggalkan Bengkulu | |
Nama benteng ini diambil dari Viscount Charles John Canning, Gubernur Jenderal sekaligus Viceroy pertama India. Benteng ini selesai dibangun pada tahun 1867, namun sebagian besar strukturnya dibongkar pada 1907. Kini, gerbang benteng yang tersisa menjadi saksi bisu masa kolonial tersebut. Menariknya, Fort Canning juga merupakan lokasi kebun botani pertama Singapura yang didirikan oleh Raffles pada tahun 1822. Ia mengirim tanaman cengkih dan biji pala dari Bencoolen (sekarang Bengkulu, Sumatra) untuk ditanam di sini. Meskipun eksperimen tersebut gagal dan dihentikan pada 1829, alam telah mengambil alih dan membuat bukit ini kembali hijau. Kini, taman ini dipenuhi beragam pepohonan, palem, tanaman bunga, dan semak-semak tropis. Dengan jalur pejalan kaki yang rapi dan udara yang lebih sejuk, Taman Fort Canning menjadi tempat yang pas untuk bersantai, berolahraga, atau sekadar menikmati sejarah dan keteduhan. Pengunjung juga dapat menjelajahi berbagai galeri dan situs bersejarah, termasuk sisa-sisa struktur bata dari abad ke-14 dan Battlebox, bunker bawah tanah yang pernah digunakan sebagai pusat komando militer Inggris pada masa Perang Dunia II. Salah satu fitur tersembunyi di bukit ini adalah Fort Canning Reservoir, waduk air bawah tanah yang dibangun pada 1929 dan masih menjadi bagian dari sistem pasokan air Singapura hingga kini. Keindahan lanskapnya, jalur hijau yang teduh, dan hamparan rumput yang luas menjadikan taman ini favorit bagi warga lokal dan wisatawan untuk berjalan-jalan santai, piknik, atau sekadar melepas penat dari hiruk-pikuk kota.
 |
Fort Canning Light ini sebelumnya merupakan salah satu dari 13 mercusuar penting di Selat Malaka
|
 |
Sayangnya karena faktor kurang, saya tidak dapat sepenuhnya menjelajahi taman ini
|
Sayangnya, kunjungan saya kali ini harus berakhir lebih cepat karena cuaca mulai berubah. Suara guntur yang bergema dari kejauhan dan langit yang mulai gelap memaksa saya mempercepat langkah menuju stasiun MRT terdekat sebelum hujan deras turun. Dengan waktu eksplorasi yang terbatas, saya harus segera melanjutkan ke destinasi berikutnya dalam kunjungan singkat saya di Singapura. Meski singkat, pengalaman di Fort Canning Park sangat berkesan. Masih banyak tempat menarik yang belum sempat saya jelajahi—dari situs sejarah hingga taman tematik dan instalasi seni. Suatu saat nanti, saya pasti ingin kembali dan menikmati taman bersejarah ini dengan lebih santai.
Fort Canning Park
Taman Fort Canning
Lokasi
Dikelilingi oleh Hill Street, Canning Rise, Clemenceau Avenue dan River Valley Road, Singapura
Jam Buka
Setiap hari, 24 jam
Tiket Masuk
Gratis (biaya lain mungkin berlaku untuk pameran khusus atau tur berpemandu tertentu)
Comments
Post a Comment