[ID] Jejak Rasa Surabaya, Kuliner yang Tak Lekang Waktu (Bagian 2)
Perjalanan wisata kuliner di Surabaya begitu bervariasi, dari institusi legendaris hingga warung kaki lima yang dicintai banyak orang. Setelah mencicipi sambal pedas dan udang goreng renyah di Depot Bu Rudy, menikmati gurihnya bebek goreng di Bebek Palupi, serta merasakan nasi mawut krengsengan ala Pak Kumis, perjalanan saya berlanjut ke tiga favorit lainnya: ayam goreng kampung khas Ayam Goreng President, suasana nostalgia kopitiam di Kedai Ciamso, dan segarnya Es Teler Tanjung Anom. Masing-masing menghadirkan cita rasa dari jiwa kuliner kota ini yang berbeda-beda, namun bersama-sama mereka menunjukkan bagaimana Surabaya meramu tradisi, kenangan, dan kenyamanan sehari-hari dalam budaya makannya.
| Ayam goreng yang disajikan dengan sambal pedas, kecap manis, dan nasi hangat adalah hidangan pilihan saya |
Ayam Goreng President
Legenda Ayam Goreng
Meski Surabaya dikenal dengan sejumlah rumah makan yang menjual bebek goreng yang ikonik, kota ini juga memiliki sejumlah tempat yang tersohor dengan ayam gorengnya. Di antara semuanya, Ayam Goreng President di Jalan Tidar menempati posisi legendaris. Berdiri sejak puluhan tahun lalu, depot sederhana ini berhasil menghimpun penggemar setia baik dari warga lokal maupun pengunjung dari luar kota berkat ayam goreng kampung khasnya—kulitnya renyah, dagingnya lembut dan penuh rasa, selalu ditemani sambal khas dan kecap manis. Popularitasnya begitu tinggi hingga ketika saya tiba sekitar pukul 7 malam, saya nyaris tak kebagian seporsi ayam goreng ikonik itu sebelum habis terjual. Walau jam tutup resmi lebih larut, pintu sering kali ditutup lebih awal—bukan karena jadwal, melainkan karena stok ayam goreng yang sudah ludes. Meski ramai pengunjung, pelayanan tetap cepat dan sigap, memastikan setiap orang bisa menikmati hidangan tanpa harus menunggu lama.
Yang membuat Ayam Goreng President benar-benar istimewa adalah penggunaan ayam kampung, yang secara alami lebih kecil dibanding ayam broiler industri yang biasa ditemui di tempat lain. Tubuhnya yang lebih ramping menghasilkan tekstur daging yang lebih padat sekaligus cita rasa yang lebih dalam—terasa lebih “asli” dan berkesan lebih alami. Setiap potongan ayam dimarinasi dengan racikan bumbu lokal—bawang putih, ketumbar, kunyit, dan rempah tradisional lainnya—yang meresap hingga ke dalam daging, sehingga kelezatan tidak hanya ada di kulit renyahnya, tetapi juga di bagian daging yang lembut. Hasilnya adalah ayam goreng yang harum sekaligus kaya rasa, setiap gigitannya membawa jejak warisan kuliner Surabaya. Disajikan bersama sambal hitam khas, siraman kecap manis, dan nasi hangat mengepul, hidangan ini menjadi pengalaman yang lengkap—pedas, manis, sekaligus menenangkan.
Lokasi Jl Tidar No 22, Sawahan, Surabaya, Jawa Timur
Jam Buka
Setiap hari, 14.30 WIB - 21.00 WIB
Harga
Ayam goreng (dada) Rp 35,000
Nasi putih Rp 12,000
Teh panas Rp 10,000
Kedai Ciamso
Kafe Kopitiam Halal
Saat dalam perjalanan pertama kali menuju Kampi Hotel Tunjungan tempat saya meningap, saya melewati sebuah kafe ramai dengan nuansa Tionghoa klasik. Rasa penasaran membuat saya mencari tahu, dan ternyata tempat itu adalah Kedai Ciamso—sebuah kopitiam populer yang menyajikan makanan halal. Tertarik dengan atmosfer nostalgianya, saya pun kembali ke sana malam harinya untuk menikmati camilan ringan dan minuman hangat sebelum beristirahat. Kedai Ciamso pertama dibuka di Taman Apsari pada tahun 2023, dan kesuksesannya yang luar biasa segera memicu ekspansi usaha kuliner ini. Kini, merek ini memiliki tujuh cabang—empat di Surabaya, serta tiga lainnya di Pasuruan, Malang, dan bahkan Bandung. Nama “Ciamso” sendiri merupakan permainan kata dari ungkapan slang lokal "ciamik soro", yang berarti “sangat enak” atau “lezat sekali.” Kata "ciamik" diyakini berakar dari bahasa Hokkien, berasal dari frasa “Cia ha mi?” yang berarti “Sedang makan apa?”—yang kemudian berkembang menjadi istilah gaul Indonesia untuk sesuatu yang istimewa atau lezat. Dipadukan dengan kata "soro", sebuah ekspresi dalam bahasa Jawa untuk “sangat” atau “sekali,” nama ini mencerminkan janji kafe: sajian yang bukan hanya bernuansa nostalgia, tetapi juga benar-benar lezat.
Melangkah masuk ke Kedai Ciamso terasa seperti menapaki ke ruang kuno di masa lalu. Interiornya bergaya kopitiam klasik, dengan poster vintage bintang film Hong Kong menghiasi dinding—Andy Lau, Jackie Chan, Stephen Chow, hingga Bruce Lee—seakan menemani keramaian pengunjung. Kursi dan meja kayu sederhana menambah pesona lawas, sementara riuh percakapan dan cahaya laptop menciptakan suasana hangat sekaligus hidup. Buka 24 jam, tempat ini menjadi favorit mahasiswa dan para pencinta malam, menawarkan ruang nyaman untuk bersantai, menyeruput kopi, atau bekerja hingga larut. Menu Kedai Ciamso memadukan nostalgia dengan variasi. Ada hidangan khas kopitiam seperti roti bakar kaya toast, kopi butter, dan teh tarik, berdampingan dengan sajian mengenyangkan seperti nasi lemak, bubur ayam, dan nasi ayam Hainan. Pilihan dim sum seperti gyoza, pangsit, dan gohyong menambah sentuhan hangat, sementara minuman unik seperti es Badak soda memancing rasa penasaran. Harga tetap bersahabat, membuat siapa pun bisa menikmati camilan ringan atau santapan lengkap tanpa khawatir kantong. Ditambah lagi, seluruh menu bersertifikat halal, dan memastikan inklusivitas bagi semua yang ingin merasakan cita rasa khasnya.
Lokasi Jl Taman Apsari No 25A, Genteng, Surabaya, Jawa Timur
Jam Buka
Setiap hari, 24 jam
Harga
Gohyong goreng Rp 28.000
Roti bakar kaya butter toast (half) Rp 28.000
Teh tarik panas IDR 18.000
Website https://linktr.ee/kedaiciamso
Instagram https://www.instagram.com/kedaiciamso/
Es Teller Tanjung Anom & Bakso Daging Sapi
Desserts dan Bakso
Perjalanan kuliner tentu tak lengkap tanpa hidangan penutup yang manis. Pada bagian ini, saya menikmati Es Teler, yaitu hidangan tradisional yang berakar dari kreasi seorang penjaja kaki lima asal Jawa Tengah yang memperkenalkannya di Jakarta pada akhir 1950-an. Sejak saat itu, Es Teler meraih popularitas luas di seluruh Indonesia bahkan hingga ke kawasan Asia Tenggara. Nama “es teler” secara harfiah berarti “es mabuk,” meski sama sekali tidak mengandung alkohol. Istilah “mabuk” di sini merujuk pada rasa puas dan kesegaran luar biasa yang dirasakan setelah menikmati es serut yang manis dan penuh buah ini.
Salah satu penjual es teler paling terkenal di Surabaya adalah Es Teler Tanjung Anom, dinamai sesuai jalan tempat pertama kali berdiri pada tahun 1982. Namun kali ini saya membelinya di cabang Taman Apsari—hanya beberapa langkah dari hotel tempat saya menginap selama perjalanan singkat di kota ini. Es Teler Tanjung Anom dianggap sebagai salah satu legenda kuliner Surabaya, kerap dikunjungi bukan hanya oleh warga lokal, tetapi juga tokoh publik. Selain es teler ikoniknya, kedai ini juga dikenal dengan bakso andalannya, menjadikannya persinggahan sempurna bagi pencinta rasa manis maupun gurih.
Setelah membawa pulang es teler, saya menikmatinya dalam kenyamanan tenang kamar hotel. Di dalam gelas, es serut disiram sirup dan susu kental manis, diperkaya dengan sentuhan santan yang memberi kedalaman rasa. Potongan nangka manis, kelapa muda lembut, dan alpukat lembut berpadu dengan sagu mutiara kenyal—setiap suapan menghadirkan perpaduan tekstur dan rasa. Bersama buah, mutiara, santan, dan sirup manis, tercipta harmoni yang sekaligus menyegarkan dan memanjakan—sebuah cita rasa sejati dari tradisi dessert Indonesia.
Lokasi Jl Taman Apsari No 7, Genteng, Surabaya, Jawa Timur
Jam Buka
Setiap hari, 11.00 WIB - 21.00 WIB
Harga
Es teler Rp 25.000
Kekayaan kuliner Surabaya jauh lebih banyak daripada yang sempat saya jelajahi dalam perjalanan singkat ini. Dari legenda sambal hingga ayam dan bebek goreng renyah, dari kafe kopitiam baru hingga dessert yang menyegarkan—setiap persinggahan hanyalah sepotong kecil dari mozaik rasa kota ini. Apa yang saya nikmati hanyalah sebagian kecil dari kenangan kuliner Surabaya yang saya selama ini saya simpan, namun cukup untuk mengingatkan kembali mengapa kota ini begitu istimewa di hati saya. Waktu mungkin hanya memberi kesempatan untuk kembali mengunjungi segelintir legenda kuliner dan hidangan favorit lama, tetapi setiap gigitan terasa seperti undangan untuk kembali lagi dan menjelajah lebih jauh, dan menemukan begitu banyak rasa serta cerita baru yang menanti untuk digali. Surabaya, dengan harta kulinernya yang tiada habis, akan selalu memanggil saya untuk kembali.
Comments
Post a Comment