Skip to main content

Featured

[ID] Jejak Rasa Surabaya, Kuliner yang Tak Lekang Waktu (Bagian 2)

Perjalanan wisata kuliner di Surabaya begitu bervariasi, dari institusi legendaris hingga warung kaki lima yang dicintai banyak orang. Setelah mencicipi sambal pedas dan udang goreng renyah di Depot Bu Rudy, menikmati gurihnya bebek goreng di Bebek Palupi, serta merasakan nasi mawut krengsengan ala Pak Kumis, perjalanan saya berlanjut ke tiga favorit lainnya: ayam goreng kampung khas Ayam Goreng President, suasana nostalgia kopitiam di Kedai Ciamso, dan segarnya Es Teler Tanjung Anom. Masing-masing menghadirkan cita rasa dari jiwa kuliner kota ini yang berbeda-beda, namun bersama-sama mereka menunjukkan bagaimana Surabaya meramu tradisi, kenangan, dan kenyamanan sehari-hari dalam budaya makannya. Ayam goreng yang disajikan dengan sambal pedas, kecap manis, dan nasi hangat adalah hidangan pilihan saya Ayam Goreng President Legenda Ayam Goreng Meski Surabaya dikenal dengan sejumlah rumah makan yang menjual bebek goreng yang ikonik, kota ini juga memiliki sejumlah tempat yang tersohor den...

[ID] Mengenal Santo Anselmus dari Canterbury: Uskup Agung dan Guru Gereja

Latar Belakang Pendidikan Katolik Saya

Seperti yang mungkin sudah saya bagikan dalam beberapa tulisan sebelumnya, saya mengenyam pendidikan di sekolah Katolik sejak usia dini. Dari Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Menengah Pertama, selama sebelas tahun saya belajar di lembaga pendidikan yang dikelola oleh para Suster Ursulin. Setelah itu, saya melanjutkan pendidikan selama tiga tahun di Sekolah Menengah Atas Katolik yang berada di bawah naungan yayasan yang terafiliasi dengan Ordo Karmelit. Pada masa itu, orang tua saya sebenarnya tidak terlalu religius. Namun, seiring berjalannya waktu, keduanya akhirnya menerima iman Kristen menjelang akhir hidup mereka. Saya pertama kali mengikuti kelas katekumen saat berusia 14 tahun. Namun hanya setelah mengikuti beberapa kali pertemuan awal, saya memutuskan untuk berhenti. Bukan karena dilarang secara langsung oleh ayah saya, tetapi responsnya yang cenderung acuh membuat saya ragu dan berpikir ulang. Tahun demi tahun berlalu, tertunda oleh kesibukan sekolah, pekerjaan, dan tanggung jawab lainnya. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk kembali mengikuti kelas katekumen di paroki tempat saya tinggal sekarang, Santo Matius Rasul.

Santo Anselmus dari Canterbury (1033-1109), terukir di bagian luar bangunan Katedral Canterbury
Foto oleh Karen Arnold, melalui World History Encyclopedia (CC BY-SA 4.0)

Proses Pembinaan yang Mengubah Hidup

Program katekumen di paroki ini cukup ketat dengan pertemuan rutin setiap minggu yang menuntut komitmen dan konsistensi para calon baptis. Namun kini saya bisa mengatakan dengan bangga bahwa saya tidak pernah absen satu kalipun selama masa pembinaan tersebut. Setelah hampir setahun belajar, merenung, dan mempersiapkan diri bersama para katekis yang penuh dedikasi, saya akhirnya dibaptis di gereja paroki tersebut. Untuk nama baptis saya, saya memilih "Anselmus", yang saya ambil dari Santo Anselmus dari Canterbury—sebuah nama yang sebenarnya sudah saya pilih sejak masa katekumen pertama saya di bangku SMP. Nama "Anselm" sendiri berasal dari bahasa Jermanik kuno yang berarti "Perlindungan dari Tuhan", gabungan dari kata "ans" (Tuhan) dan "helm" (pelindung atau penutup kepala). Meskipun mungkin bukan nama baptis yang umum dipilih, ada sesuatu dari nama ini yang terus melekat di hati saya selama bertahun-tahun. Makna personalnya menjadikannya terasa tepat, bahkan sangat alami. Ketika saya akhirnya kembali pada pilihan nama ini, momennya pun terasa pas, seolah menjadi afirmasi lembut yang selama ini tak saya sadari saya butuhkan.

Santo Anselmus digambarkan dalam jendela kaca patri di Katedral Chester di Inggris (1916)
Foto oleh Wolfgang Sauber melalui World History Encyclopedia (CC BY-SA 4.0)

Siapakah Santo Anselmus dari Canterbury?

Santo Anselmus, atau yang juga dikenal sebagai Anselmus dari Aosta (karena tempat kelahirannya) dan Anselmus dari Bec (karena biara tempat ia belajar dan mengajar), adalah tokoh besar Gereja pada abad ke-11. Ia adalah seorang biarawan Benediktin, filsuf, dan teolog yang dikenal luas berkat kontribusinya dalam pengembangan skolastisisme dan argumentasi ontologisnya yang terkenal tentang keberadaan Tuhan. Anselmus lahir sekitar tahun 1033 di Aosta, wilayah Burgundy (yang sekarang termasuk wilayah Lombardia di Italia). Ia berasal dari keluarga bangsawan di mana ayahnya, Gundulph, adalah seorang bangsawan Lombardia, sedangkan ibunya, Ermenberge, disebut-sebut sebagai cucu Raja Burgundy. Sejak kecil, Anselmus dibimbing oleh ibunya yang religius dan pada usia 15 tahun ia sudah ingin masuk biara. Namun, ayahnya menolaknya karena lebih menginginkan Anselmus meniti karier politik. Meski demikian, Anselmus tetap mendapatkan pendidikan klasik yang luar biasa, khususnya dalam bahasa Latin dan retorika, yang nantinya sangat berpengaruh dalam karya tulisnya.

Kisah hidup St. Anselmus digambarkan dalam 16 panel jendela kaca patri di Katedral Quimper, Brittany, Perancis
Foto oleh Thesupermat melalui Wikimedia Commons (CC BY-SA 3.0)

Dari Bec Menuju Canterbury

Saat berusia 27 tahun, Anselmus bergabung dengan biara Benediktin di Bec, Normandia, untuk belajar di bawah asuhan prior terkenal, Lanfranc. Ketika Lanfranc kemudian dipindahkan ke biara baru di Caen, para biarawan di Bec, meski sempat ragu karena usia Anselmus yang masih muda, akhirnya memilihnya sebagai prior. Lima belas tahun kemudian, ia diangkat menjadi abbas. Di bawah kepemimpinannya, Bec berkembang menjadi pusat intelektual dan spiritual terkemuka, menarik murid dari berbagai wilayah Eropa. Selama masa ini, Anselmus menulis dua karya teologis terbesarnya, Monologion dan Proslogion, serta berbagai tulisan lainnya. Reputasinya bahkan disebut telah melampaui gurunya sendiri, Lanfranc. Pada tahun 1093, Anselmus mengunjungi Inggris untuk mendirikan biara baru di Chester. Namun di luar rencana awalnya, ia justru diangkat menjadi Uskup Agung Canterbury oleh Raja William II, menggantikan posisi yang kosong sejak wafatnya Lanfranc pada 1089. Awalnya ia menolak, tetapi akhirnya menerima dengan beberapa syarat: pengembalian tanah-tanah milik Gereja yang disita raja, pengakuan raja terhadap otoritas Paus Urbanus II, dan kebebasan dalam memberi nasihat spiritual.


Katedral Canterbury di Kent, Inggris di mana Santo Anselmus pernah menjabat sebagai Uskup Agung
Foto oleh Hans Musil melalui Wikimedia Commons (CC BY-SA 3.0)

Sebagai uskup agung, Anselmus tetap memegang teguh idealismenya sebagai biarawan—kerendahan hati, doa, disiplin intelektual—dan sangat vokal dalam mendorong reformasi Gereja. Masa kepemimpinannya bersamaan dengan puncak Kontroversi Investitur, sebuah konflik besar di Eropa tentang siapa yang berhak mengangkat uskup: Paus atau raja. Keteguhannya membuatnya berbenturan dengan Raja William II dan penerusnya, Raja Henry I, bahkan sampai harus menjalani pengasingan dua kali. Namun dalam masa-masa sulit itu, Anselmus tetap berusaha menjadi penengah antara takhta Inggris dan Paus. Ia mencari titik temu tanpa mengorbankan prinsip kebebasan Gereja. Usahanya turut membantu membuka jalan bagi batas yang lebih jelas antara kewenangan gereja dan negara. Dalam masa pengasingan inilah ia menulis salah satu karya teologinya yang terkenal, Cur Deus Homo (Mengapa Allah Menjadi Manusia).

Makam peringatan Santo Anselmus di Katedral Canterbury ini terbuat dari bahan marmer dari Aosta
Foto oleh Ealdgyth melalui Wikimedia Commons (CC BY-SA 3.0)

Warisan dan Pengakuan Resmi Gereja

Anselmus wafat pada Hari Rabu Suci, 21 April 1109, dan dimakamkan di Katedral Canterbury, tempat di mana ia pernah memimpin sebagai Uskup Agung. Di katedral ini, kini terdapat kapel khusus yang didedikasikan untuk mengenang dirinya. Kapel tersebut menampilkan jendela kaca patri modern yang menggambarkan sang santo, serta altar dari marmer gelap yang berasal dari Aosta, kampung halamannya di Italia. Meskipun Anselmus sudah dihormati sebagai santo secara lokal sejak lama, baru pada tahun 1494 pengakuan resmi berupa kanonisasi diberikan oleh Paus Aleksander VI. Lalu pada 1720, Paus Klemens XI menyatakan Anselmus sebagai Pujangga Gereja, mengakui besarnya kontribusi teologisnya. Hari rayanya dirayakan setiap 21 April, baik oleh Gereja Katolik maupun Anglikan.

Makna Personal yang Terus Hidup

Kisah hidup dan warisan intelektual Anselmus telah menjadi inspirasi bukan hanya bagi para teolog dan filsuf, tetapi juga bagi siapa pun yang mencari kebenaran lewat akal dan iman. Bagi saya, memilih nama Anselmus sebagai nama baptis bukan sekadar bentuk penghormatan terhadap seorang pemikir besar Gereja, melainkan juga cara saya meresapi semangat ketekunan dan kebijaksanaan yang ia miliki—satu perpaduan antara nalar, kerendahan hati, dan iman yang saya harap dapat terus saya bawa dalam perjalanan iman pribadi saya.



Santo Anselmus dari Canterbury
Uskup Agung Canterbury, Pujangga Gereja

Tarekat Religius Benediktin (Ordo Santo Benediktus)
Santo Pelindung Filsuf, teolog dan pelajar

Hari Perayaan 21 April
Lahir Sekitar tahun 1033 di Aosta, Lombardia, Italia
Wafat 21 April 1109 di Canterbury, Kent, Inggris
Dimakamkan Katedral Canterbury, di Kapel Santo Anselmus

 

Comments