Kunjungan Pertama Ke Gereja St. Ignatius Loyola
Dalam kunjungan berikut saya pada Tahun Yubileum 2025 ini ke Gereja St. Ignatius Loyola di Jakarta Pusat, saya menyadari bahwa saya ternyata memiliki keterkaitan pribadi dengan gereja ini dalam beberapa hal sekaligus. Pertama-tama, dari namanya saja sudah jelas bahwa gereja ini didedikasikan bagi St. Ignatius Loyola, pendiri Serikat Yesus (Yesuit), tarekat religius terbesar dalam Gereja Katolik. Seperti yang pernah saya bagikan dalam tulisan saya sebelumnya, Ignatius juga merupakan nama santo pelindung yang diberikan kepada saya pada saat menerima Sakramen Krisma.
Selain kesamaan dalam nama pelindung, gereja ini terletak di Jalan Malang, yang sekaligus menjadi nama resmi paroki yaitu Paroki Jalan Malang. Hal ini memiliki arti khusus bagi saya, karena saya lahir di Malang, sebuah kota di Jawa Timur yang menjadi asal-usul nama jalan tersebut. Meskipun saya belum banyak menulis tentang kota kelahiran saya di blog ini, saya berencana untuk membagikan lebih banyak kisah mengenai Malang dan Provinsi Jawa Timur di kemudian hari. Untuk saat ini, mari kita menelusuri lebih dekat Gereja St. Ignatius Loyola di Paroki Jalan Malang.
 |
Gedung gereja ini sangat unik karena menyerupai lipatan origami dengan sudut-sudut yang tajam
|
 |
Patung Santo Ignatius Loyola sebagai pelindung paroki dapat dijumpai di halaman gereja |
Latar Belakang Sejarah Kawasan Menteng
Gereja ini terletak di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, dan sebelumnya merupakan bagian dari Paroki Menteng, yang sudah sudah saya bahas dalam tulisan sebelum ini. Menteng sendiri dikenal sebagai kawasan perumahan terencana pertama di Batavia (sekarang Jakarta), yang dirancang dan dibangun pada masa kolonial Belanda antara tahun 1910 hingga 1918. Kawasan ini dirancang sebagai sebuah garden city, dengan jalan-jalan yang rindang serta taman-taman kecil di berbagai sudut kawasan ini.
Setelah Indonesia merdeka, Menteng berkembang menjadi salah satu lingkungan elite. Banyak tokoh nasional pernah bermukim di sini, termasuk Soekarno dan Mohammad Hatta, Presiden dan Wakil Presiden pertama Republik Indonesia. Presiden kedua, Soeharto, juga pernah tinggal di kawasan ini. Menariknya, mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, sempat menghabiskan sebagian masa kecilnya di Menteng, tinggal bersama keluarganya dan bersekolah di sekitar sini. Kini, Menteng menjadi kawasan yang kaya akan situs bersejarah dan bangunan kolonial yang masih terawat, termasuk Gereja St. Ignatius Loyola. Gereja ini berdiri di perempatan Jalan Malang dan Jalan Latuharhari, sehingga dalam beberapa penulisan alamatnya bisa tercantum dengan salah satu dari dua nama jalan tersebut.
 |
Paroki Jalan Malang dibentuk pada tahun 1949 sebagai pemekaran dari Paroki Menteng |
 |
Melayani sekitar 4.600 umat, paroki ini juga menjadi salah satu yang tertua di Keuskupan Agung Jakarta
|
Awal Berdirinya Paroki Jalan Malang
Paroki Jalan Malang berdiri pada tahun 1949 dan menjadi salah satu paroki tertua di Keuskupan Agung Jakarta. Pemisahannya dari Paroki Menteng dilakukan demi melayani umat Katolik yang jumlahnya semakin berkembang di kawasan Menteng dan sekitarnya. Pada masa awal, komunitas paroki ini belum memiliki gedung gereja sendiri. Karena itu, perayaan Misa sering kali berpindah-pindah, dimulai dari rumah-rumah beberapa keluarga Katolik di lingkungan tersebut. Situasi ini mencerminkan semangat iman umat yang sederhana, tetapi penuh kebersamaan. Seiring kebutuhan yang semakin mendesak, umat kemudian memanfaatkan aula Sekolah Katolik St. Ignatius. Langkah ini menandai sebuah tahap baru, di mana komunitas semakin terorganisasi.
Tak lama berselang, pada tahun 1950-an, layanan paroki mulai diberikan di lokasi ini yang saat itu masih berbagi tempat dengan Kongregasi Suster Jesus Maria Joseph (JMJ), sebuah tarekat religius yang didirikan di Belanda pada tahun 1822 oleh Pastor Mathias Wolff, S.J. Dengan penuh ketekunan, paroki perlahan-lahan berhasil memperoleh tanah tambahan di sekitarnya. Perjalanan panjang ini akhirnya mencapai puncaknya pada tahun 1969, ketika Gereja St. Ignatius Loyola resmi diberkati. Nama St. Ignatius dipilih untuk menghormati para imam Yesuit yang telah melayani paroki sejak awal dibentuk. Walau kini pengelolaan paroki ini berada di tangan imam diosesan, nama tersebut tetap dipertahankan, dengan St. Ignatius terus menjadi pelindung bagi komunitas paroki Jalan Malang.
 |
Lubang ventilasi kaca berwarna-warna ini mendukung sirkulasi sekaligus memberikan sentuhan seni |
 |
Sementara dari lubang ventilasi ini, suara nyaring dari lintasan KRLsesekali masuk ke dalam gereja |
Arsitektur dan Suasana Interior Gereja
Arsitektur Gereja St. Ignatius Loyola langsung mencuri perhatian dengan atapnya yang menyerupai lipatan origami dengan serangkaian sudut tajam dan lipatan tegas yang menjulang sekaligus mengalir menuju altar, seakan-akan mengarahkan pandangan dan langkah umat ke pusat yang kudus. Di bagian depan maupun belakang bangunan, terdapat lubang ventilasi berwarna-warni yang menonjol. Unsur ini bukan hanya menjadi aksen visual yang menarik, tetapi juga berfungsi praktis sebagai saluran untuk sirkulasi udara tropis yang panas dan lembab.
Memasuki bagian dalam gereja, nuansa kayu yang hangat membalut ruangan, menghadirkan suasana teduh dan menenangkan, seakan meredam ketegasan bentuk geometris eksteriornya. Saat melintasi Porta Sancta, kesan pertama yang hadir tidak hanya berupa penglihatan, tetapi juga indra lain di mana sejenak terhirup aroma lembut yang menyenangkan memenuhi ruang, seolah menyambut setiap peziarah dengan pelukan yang tenang dan ramah. Tak jauh dari salah satu sudut tajam dekat ruang pengakuan dosa, berdirilah sebuah patung St. Ignatius Loyola yang menyambut umat dengan hening.
Denyut Perlintasan Kereta di Seberang Gereja
Di halaman gereja, berdiri patung St. Ignatius Loyola yang lebih besar, menghadap ke arah bangunan utama, seakan-akan mengarahkan umat untuk masuk dengan hati yang terbuka. Bersama dengan patung di dalam gereja, keduanya seolah membentuk sebuah dialog yang lembut: yang satu mengundang kita masuk, dan yang lain mengingatkan untuk melangkah kembali ke luar dengan semangat yang diperbarui.
Namun, keteduhan di dalam gereja sesekali terusik oleh suara sirine keras dari perlintasan kereta api yang menandakan palang akan ditutup karena ada KRL yang lewat. Tak lama kemudian, gemuruh kereta yang melintas pun terdengar jelas, sulit untuk diabaikan. Saya segera menyadari bahwa ini bukanlah gangguan yang jarang terjadi, melainkan ritme rutin dari lingkungan sekitar, karena gereja memang berdiri persis di di seberang jalur KRL yang menuju Stasiun Manggarai. Meskipun saya tidak sempat menghadiri Misa di sana untuk melihat bagaimana umat menanggapinya, saya hanya bisa membayangkan bahwa jemaat sudah terbiasa dengan kondisi ini, dan melanjutkan doa mereka tanpa terganggu.
 |
Di pojok gereja terdapat patung Santo Ignatius Loyola yang berjaga di samping ruangan pengakuan dosa
|
 |
Gua Maria Immaculata ini menjadi salah satu dari beberapa koneksi pribadi dengan gereja ini
|
Gua Maria Immaculata dan Koneksi Pribadi Lainnya
Di salah satu sudut halaman yang rindang, terdapat Gua Maria yang langsung menarik perhatian saya karena menghadirkan keterhubungan pribadi lainnya. Gua ini bernama Gua Maria Immaculata, yang diberkati pada tahun 1990 sebagai persembahan dari umat paroki. Menariknya, gelar Maria Immaculata juga merupakan nama lingkungan saya di paroki asal saya, sehingga saya merasa seketika akrab, seolah sedang berada di rumah sendiri. Rasa kedekatan itu semakin kuat sejak awal, mengingat pelindung paroki ini, St. Ignatius Loyola—santo yang sama dengan nama yang saya terima saat Sakramen Krisma. Menyaksikan patung-patungnya, baik di dalam maupun di luar gereja, menjadi pengingat yang tenang akan tonggak penting dalam perjalanan iman saya.
Seakan-akan berbagai detail, mulai dari gua Maria, santo pelindung, hingga nama paroki Jalan Malang yang sama dengan kota kelahiran saya, dirangkai bersama untuk menegaskan bahwa kunjungan ini bukanlah sebuah kebetulan. Pada akhirnya, yang saya bawa pulang lebih dari sekadar kesan arsitektur unik atau interior kayu yang menenangkan. Saya pulang dengan rasa keterkaitan yang melampaui tempat, melintasi komunitas dan momen-momen dalam perjalan rohani saya sendiri. Pada titik itulah saya menyadari, setiap kunjungan rohani selalu membawa pesan tersendiri, kadang lewat arsitektur, kadang lewat sejarah, dan kadang lewat hal-hal kecil yang menyentuh hati, di mana semuanya mengingatkan bahwa iman kita selalu ditopang oleh jejak kasih Tuhan di sepanjang perjalanan.
Paroki Jalan Malang
Gereja Santo Ignatius Loyola
Lokasi Jalan Malang No 22, Menteng, Jakarta Pusat, Jakarta
Jadwal Misa Mingguan
Sabtu, 17.00 WIB
Minggu, 07.00 WIB, 09.00 WIB, 17.00 WIB
Comments
Post a Comment