Skip to main content

Featured

[ID] Jejak Rasa Surabaya, Kuliner yang Tak Lekang Waktu (Bagian 2)

Perjalanan wisata kuliner di Surabaya begitu bervariasi, dari institusi legendaris hingga warung kaki lima yang dicintai banyak orang. Setelah mencicipi sambal pedas dan udang goreng renyah di Depot Bu Rudy, menikmati gurihnya bebek goreng di Bebek Palupi, serta merasakan nasi mawut krengsengan ala Pak Kumis, perjalanan saya berlanjut ke tiga favorit lainnya: ayam goreng kampung khas Ayam Goreng President, suasana nostalgia kopitiam di Kedai Ciamso, dan segarnya Es Teler Tanjung Anom. Masing-masing menghadirkan cita rasa dari jiwa kuliner kota ini yang berbeda-beda, namun bersama-sama mereka menunjukkan bagaimana Surabaya meramu tradisi, kenangan, dan kenyamanan sehari-hari dalam budaya makannya. Ayam goreng yang disajikan dengan sambal pedas, kecap manis, dan nasi hangat adalah hidangan pilihan saya Ayam Goreng President Legenda Ayam Goreng Meski Surabaya dikenal dengan sejumlah rumah makan yang menjual bebek goreng yang ikonik, kota ini juga memiliki sejumlah tempat yang tersohor den...

[ID] Misteri Tritunggal Mahakudus dan Cahaya Iman di Paroki Cengkareng

Misteri Tritunggal Sebagai Inti Iman Katolik

Sebagai salah satu dogma terpenting dalam kekristenan, ajaran tentang Tritunggal Mahakudus menempati posisi sentral dalam iman Katolik. Umat Kristiani percaya bahwa Allah hadir dalam tiga Pribadi yaitu Bapa, Putera, dan Roh Kudus, namun bukan sebagai tiga Allah yang terpisah, melainkan satu Allah yang esa dalam tiga Pribadi ilahi dan kekal. Kebenaran ini menjadi fondasi utama sekaligus misteri terdalam dalam keyakinan Kristiani (Katekismus Gereja Katolik, 234 tentang misteri Tritunggal Mahakudus). Dalam kehidupan Katolik, misteri Tritunggal ini paling nyata diungkapkan melalui tanda salib (signum crucis). Saat umat membentuk tanda salib di tubuh mereka yang dibuat dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus, gerakan sederhana ini menjadi tanda sakramental yang mengingatkan akan kehadiran Allah, mengiringi doa-doa, dan menyucikan ritme kehidupan sehari-hari. Berangkat dari misteri sentral ini, kisah Gereja Tritunggal Mahakudus di Paroki Cengkareng bukan sekadar catatan sejarah komunitas Katolik lokal. Ia menjadi saksi hidup bagaimana iman kepada Allah Tritunggal tumbuh dan berbuah dalam konteks nyata bersama umat yang setia.

Serangkaian atap segitiga di gereja ini seakan merefleksikan misteri Tritunggal Mahakudus

Sejak masih berupa stasi, paroki Cengkareng ini dilayani oleh para pastor Oblat Maria Imakulata

Awal Mula Paroki Cengkareng

Paroki Cengkareng bermula sebagai sebuah stasi kecil dari Paroki Grogol di Jakarta Barat. Pada tahun 1971, pengelolaan pastoralnya dialihkan ke Paroki Tangerang, menandai langkah awal menuju kemandirian komunitas umat di wilayah ini. Tiga tahun setelah tiba di Indonesia dari Australia, para misionaris dari Kongregasi Oblat Maria Imakulata (OMI) mulai melayani umat di stasi Cengkareng pada tahun 1974. Sebelumnya, mereka telah berkarya di berbagai paroki di Jawa Tengah. Penugasan di Cengkareng menjadi babak baru dalam pelayanan mereka, di mana mereka membimbing umat menuju pembentukan paroki penuh.

Status sebagai paroki resmi diperoleh pada tahun 1978, membuka lembaran baru dalam sejarah komunitas ini. Saat itu, nama “Trinitas” dipilih sebagai pelindung paroki yang baru berdiri, menempatkan seluruh umat di bawah misteri iman Kristiani yang paling mendasar. Nama tersebut dipilih dari beberapa alternatif, seperti “Santo Antonius” dan “Maria Tak Bernoda.” Menariknya, nama terakhir kemudian menjadi pelindung Paroki Kalideres, yang kelak lahir dari pemekaran wilayah Paroki Cengkareng—sebuah kisah yang telah kita bahas dalam tulisan sebelumnya.

Memasuki ruangan utama gereja, kita dipaparkan pada arsitektur simetris dan langit-langit segitiga

Salib berbentuk ferula ini sangat bersejarah karena digunakan saat kunjungan Paus Yohanes Paulus II

Perjalanan Membangun Gereja Baru

Meski telah resmi menjadi paroki penuh, perjalanan membangun Gereja Trinitas bukanlah hal yang mudah. Selama beberapa tahun, umat Katolik di Cengkareng harus beribadah tanpa tempat tetap. Misa Ekaristi rutin dilaksanakan di berbagai lokasi alternatif, mulai dari rumah umat, sekolah Katolik, hingga kapel kecil yang tersedia di sekitar wilayah ini. Harapan untuk memiliki gedung gereja sendiri baru mulai terwujud ketika pemerintah provinsi DKI Jakarta memberikan izin awal pendirian gereja pada tahun 1987. Dua tahun kemudian, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dikeluarkan pada 1989, membuka jalan bagi dimulainya proyek konstruksi yang telah lama dinantikan. Setelah satu tahun pembangunan, Gereja Trinitas akhirnya rampung pada tahun 1990 dan diberkati oleh Uskup Agung Jakarta saat itu, Mgr. Leo Sukoto, S.J. Momen ini menjadi tonggak penting dalam sejarah Paroki Cengkareng, menandai hadirnya rumah ibadah yang layak dan permanen bagi umat paroki. 

Dalam tahun-tahun berikutnya, berbagai fasilitas tambahan dibangun untuk mendukung aktivitas komunitas katolik di wilayah ini. Di antaranya adalah berberapa ruang kegiatan dan sebuah aula serbaguna yang diberi nama Santo Eugenius de Mazenod—pendiri Kongregasi Oblat Maria Imakulata (OMI), yang para imamnya telah setia melayani Paroki Cengkareng sejak awal berdirinya paroki ini. Gereja Trinitas ini juga mengalami beberapa proyek renovasi, termasuk pada tahun 2002 dan antara tahun 2012 hingga 2014. Tujuan utamanya adalah memperluas kapasitas gereja agar dapat menampung jumlah umat yang terus bertambah. Upaya ini mencerminkan komitmen paroki untuk menciptakan ruang ibadah yang hidup, ramah, dan mendukung pertumbuhan rohani umat.

Panel jendela kaca patri di atas pintu masuk yang mencolok ini menggambarkan Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus

Umat yang tiba di gereja ini disambut patung Pietà sebagai penggambaran kasih dan pengorbanan

Simbol Tritunggal dalam Arsitektur Gereja

Sebelum melangkah masuk ke Gereja Trinitas, mata langsung tertuju pada motif segitiga yang mendominasi desain bangunan. Atapnya menyerupai tenda dengan tiga lapisan segitiga yang saling bertumpuk—sebuah representasi langsung dari Tritunggal Mahakudus, nama sekaligus dasar spiritual gereja ini. Di Paroki Cengkareng, geometri sakral ini bukan sekadar hiasan; ia menjadi semacam katekese visual, mengajak umat untuk merenungkan misteri iman bahkan sebelum memasuki ruang ibadah. Di atas pintu utama Gereja Trinitas, sebuah jendela kaca patri berbentuk segitiga menarik perhatian dengan warna-warna cerah dan citra suci yang terpampang. Karya seni ini melambangkan kekudusan dan kemuliaan Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus—menghadirkan nuansa sakral sejak langkah pertama umat memasuki gereja.

Di dalam Gereja Trinitas, arsitektur dan devosi berpadu dalam ruang yang mencerminkan kesederhanaan dan kekhusyukan. Desain interiornya dirancang untuk membangkitkan rasa kehadiran ilahi dan semangat kebersamaan dalam ibadah. Tema segitiga tetap berlanjut, yang terlihat dari bentuk langit-langit hingga lampu gantung di atas bangku umat, semuanya berbisik lembut tentang misteri Tritunggal Mahakudus yang menjadi jiwa dari tempat ini. Langit-langit Gereja Trinitas yang berpola segitiga seolah mengarahkan pandangan umat menuju titik fokus altar: sebuah salib besar yang memancarkan kekhusyukan dan wibawa. 

Salib Bersejarah: Dari GBK ke Cengkareng

Salib ini dirancang menyerupai ferula kepausan (tongkat yang secara tradisional dibawa oleh Paus) menandakan makna historis yang mendalam. Salib tersebut pernah digunakan dalam perayaan Ekaristi agung di Stadion Utama Gelora Bung Karno saat kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia pada tahun 1989. Dibuat di Ubud, Bali, sebuah daerah yang dikenal akan seni ukir dan spiritualitasnya, salib ini memadukan keindahan devosi dengan kebanggaan nasional. Kini tersimpan di dalam Gereja Trinitas, salib tersebut menjadi simbol kuat akan kesinambungan iman. Ia menghubungkan paroki lokal dengan momen bersejarah yang menggugah yang menjadi sebuah peristiwa nasional yang sarat makna rohani dan memperkuat identitas umat Katolik Indonesia.

Gua Maria terletak di belakang gereja di bawah naungan pohon Beringin yang rindang ini

Devosi kepada Maria Imakulata ini sekaligus sebagai penghormatan atas pelayanan para pastor OMI

Gua Maria, Ruang Doa di Bawah Naungan Alam

Di bagian belakang Gereja Trinitas, umat akan menemukan sebuah ruang yang tenang dan penuh makna: Gua Maria Tak Bernoda (Maria Immaculata). Terletak di bawah rindangnya pohon beringin besar, tempat ini menghadirkan suasana hening yang mengundang umat untuk berdoa dan merenung dalam damai. Patung Maria di gua ini ditampilkan dalam gaya yang mirip dengan patung di tangga utama Paroki Kalideres—sebuah bentuk devosi yang telah akrab bagi banyak umat. Dikelilingi oleh bunga-bunga persembahan dan pelukan alam, gua ini menjadi simbol hidup dari cinta umat terhadap Bunda Maria. Gua Maria ini juga mencerminkan warisan pastoral dari para imam Oblat Maria Imakulata (OMI), yang sejak awal telah membentuk kehidupan rohani Paroki Cengkareng. Kehadiran mereka terus mengalir dalam pelayanan dan devosi umat, menjadikan gua ini bukan hanya tempat doa, tetapi juga penanda kesinambungan iman yang tumbuh bersama komunitas.

Hari ini, Gereja Trinitas berdiri bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi sebagai rumah bagi generasi yang hidup dalam iman, pelayanan, dan kebersamaan. Baik saat melangkah masuk untuk mengikuti Misa Minggu, berhenti sejenak di Gua Maria untuk berdoa dalam keheningan, atau sekadar mengagumi keindahan arsitektur yang mengelilinginya—gereja ini menghadirkan ruang di mana yang ilahi terasa dekat. Bagi siapa pun yang mencari keindahan, sejarah, atau ketenangan jiwa, Gereja Trinitas di Cengkareng menyambut dengan tangan terbuka dan kisah suci yang siap dibagikan.



Paroki Cengkareng
Gereja Trinitas

Lokasi Jl. Utama III No 23, Cengkareng, Jakarta Barat, Jakarta

Jadwal Misa Mingguan
Sabtu, 17.00 WIB
Minggu, 06.30 WIB, 09.00 WIB, 17.00 WIB



Comments