Skip to main content

Featured

[ID] Jejak Rasa Surabaya, Kuliner yang Tak Lekang Waktu (Bagian 2)

Perjalanan wisata kuliner di Surabaya begitu bervariasi, dari institusi legendaris hingga warung kaki lima yang dicintai banyak orang. Setelah mencicipi sambal pedas dan udang goreng renyah di Depot Bu Rudy, menikmati gurihnya bebek goreng di Bebek Palupi, serta merasakan nasi mawut krengsengan ala Pak Kumis, perjalanan saya berlanjut ke tiga favorit lainnya: ayam goreng kampung khas Ayam Goreng President, suasana nostalgia kopitiam di Kedai Ciamso, dan segarnya Es Teler Tanjung Anom. Masing-masing menghadirkan cita rasa dari jiwa kuliner kota ini yang berbeda-beda, namun bersama-sama mereka menunjukkan bagaimana Surabaya meramu tradisi, kenangan, dan kenyamanan sehari-hari dalam budaya makannya. Ayam goreng yang disajikan dengan sambal pedas, kecap manis, dan nasi hangat adalah hidangan pilihan saya Ayam Goreng President Legenda Ayam Goreng Meski Surabaya dikenal dengan sejumlah rumah makan yang menjual bebek goreng yang ikonik, kota ini juga memiliki sejumlah tempat yang tersohor den...

[ID] Gereja Kristus Raja, Gereja Daun Bagai Oasis di Tengah Kota Jakarta

Menapaki Jejak Awal Paroki Pejompongan

Seperti yang telah disinggung dalam tulisan sebelumnya, Paroki Pejompongan pernah berbagi pelayanan pastoral dengan Gereja Kristus Salvator di wilayah Paroki Slipi. Kedua paroki ini sejak awal dipercayakan kepada para imam dari Kongregasi Hati Maria Tak Bernoda (Congregatio Immaculati Cordis Mariae, CICM), yang tidak hanya mengelola pelayanan gereja tetapi juga mendampingi umat secara rohani sejak terbentuknya komunitas paroki. Hingga kini, Paroki Slipi masih dilayani oleh imam-imam CICM, sementara sejak tahun 2004, Paroki Pejompongan telah berada di bawah naungan imam diosesan dari Keuskupan Agung Jakarta. Meski demikian, sejarah Pejompongan tak dapat dilepaskan dari peran besar kongregasi yang turut mendampingi kelahiran dan pertumbuhan paroki ini.

Kisah lahirnya Paroki Pejompongan, seperti halnya Paroki Slipi, berawal dari pertemuan sederhana komunitas Katolik di kawasan yang terletak di sebelah timur wilayah Slipi ini pada awal tahun 1960-an. Komunitas ini tumbuh seiring pembangunan kompleks perumahan bagi para pegawai negeri yang bekerja di kantor-kantor pemerintahan dan kementerian sekitar. Pada mulanya, ketika masih menjadi bagian dari Paroki Menteng dan belum memiliki gereja sendiri, umat Katolik di Pejompongan berkumpul di rumah para warga dan di aula Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo yang terbuka bagi mereka. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1964, sebidang tanah berhasil diperoleh untuk membangun gereja di kawasan tersebut. Pada tahun 1967, Misa pertama digelar di gereja yang baru selesai dibangun tersebut dan setahun setelahnya, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) secara resmi menetapkan Pejompongan sebagai paroki penuh.

Gereja Kristus Raja di Paroki Pejompongan ini menjadi oasis di tengah hiruk-pikuk kota Jakarta

Memperingati Tahun Yubileum 2025, Porta Sancta artistik gereja ini terbuat dari bahan rotan alami

Nama, Makna, dan Perjalanan Gereja Kristus Raja 

Pada masa awal berdirinya, gereja yang baru dibangun di Pejompongan ini melayani umat Katolik dari dua wilayah yaitu Pejompongan dan Slipi. Nama paroki saat itu adalah Kristus Salvator (Kristus Sang Juruselamat). Namun, ketika kedua komunitas ini secara resmi dipisahkan pada tahun 1972, nama Kristus Salvator tetap digunakan oleh Paroki Slipi, sementara Pejompongan mengambil nama baru: Kristus Raja. Nama ini bukan sekadar penanda identitas, tetapi juga mencerminkan arah rohani yang menjadi pedoman dalam lingkup Keuskupan Agung Jakarta.

Sebagaimana tertulis dalam 1 Timotius 6:15, “yaitu saat yang akan ditentukan oleh Penguasa yang satu-satunya dan yang penuh bahagia, Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan.”, gelar Kristus Raja ini menjadi ungkapan iman akan kekuasaan abadi Kristus. Semangat ini juga tercermin dalam kalender liturgi Gereja melalui perayaan Festum Domini Nostri Iesu Christi Regis (Hari Raya Kristus Raja) yang ditetapkan oleh Paus Pius XI pada tahun 1925 sebagai peneguhan atas kedaulatan Kristus di tengah dunia yang semakin sekuler. Kemudian, pada tahun 1969, Paus Paulus VI memperbarui nama perayaan tersebut menjadi Domini Nostri Iesu Christi Universorum Regis (Tuhan Kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam) dan menetapkan hari rayanya pada Minggu terakhir dalam tahun liturgi—sebuah penempatan simbolis yang menegaskan bahwa Kristus memerintah hingga akhir zaman.

Bangunan Gereja Kristus Raja yang berdiri di Pejompongan kala itu sering dilanda banjir karena letaknya yang dekat dengan saluran air menuju Sungai Krukut. Kondisi ini diperparah oleh struktur gereja yang sebagian besar terbuat dari kayu, sehingga mudah rusak akibat berkali-kali terendam banjir. Menyadari hal ini, pada tahun 2008, mulai dirancang pembangunan ulang gereja demi menjaga keselamatan umat dan kelestarian ruang ibadah. Proyek pembangunan gereja baru dimulai pada Desember 2010 dan rampung dua tahun kemudian. Selama masa pembangunan, Misa rutin diadakan di gereja Protestan terdekat, GPIB Anugerah yang menjadi sebuah wujud nyata solidaritas lintas agama di Indonesia.

Paroki ini pada mulanya dilayani oleh iman-iman CICM dan kini dilayani oleh para imam diosesan dari KAJ 

Gereja ini seringkali dikenal sebagai "Gereja Daun" karena rancangan arsitekturnya 

Kerukunan Umat Beragama dalam Arsitektur Gereja Daun

Wujud solidaritas dan kolaborasi lintas agama di Paroki Kristus Raja tidak hanya diwujudkan dalam hal ruang ibadah yang dipinjamkan selama pembangungan ulang gereja ini, tetapi juga tercermin dalam desain dan pembangunan gereja yang baru beserta interiornya. Kini, gereja ini dikenal dengan sebutan akrab “Gereja Daun” yang merujuk pada bentuk atapnya yang menyerupai daun-daun hijau yang menaungi gedung gereja ini. Dirancang oleh Sindhu Hadiprana, tema floral ini mengalir ke seluruh bangunan, mulai dari pintu logam yang berbentuk daun palem hingga lantai keramik berpola daun karya F.X. Widayanto. Di bagian atas, atap bangunan ditopang oleh susunan penyangga membentuk pola geometris yang menyerupai sarang lebah. Struktur ini bukan hanya menjamin kekokohan, tetapi juga menjadi sebuah penggambaran dari semangat komunitas yang erat, bersatu di bawah satu kanopi iman.

Interior gereja merupakan hasil karya bersama para desainer dan seniman lokal dari berbagai latar belakang agama, yang bekerja dalam semangat persatuan dan kreativitas bersama. Desainnya sengaja dibuat tetap setia pada nuansa kayu seperti halnya gereja yang lama, sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan paroki ini. Di tengah ruang altar berdiri sebuah salib besar yang memikat, yang dipahat dari sebatang kayu jati utuh setinggi delapan meter dan seberat tujuh ton. Karya seni ini dibuat oleh I Wayan Winten, seniman Hindu ternama asal Ubud, Bali, yang dikenal dengan gaya khasnya yang terinspirasi dari tradisi Bali dan Hindu. Patung Yesus dan Maria yang mengapit altar pun dipahat dalam gaya yang serupa, menyatu dalam keindahan yang melampaui perbedaan keyakinan.

Salib ini diukir dari kayu jati utuh oleh seniman kenamaan dari Bali, I Wayan Winten, yang beragama Hindu

Di belakang balkon juga tampak relief indah yang menggambarkan Sang Kristus Raja yang menyambut umat

Ketika Seni Menyatukan Dalam Simfoni Iman

Di balik keindahan interior Gereja Kristus Raja, tersimpan kisah kolaborasi lintas iman yang menyentuh hati. Yani Mariani Sastranegara, seorang seniman Muslim, merancang tabernakel dan bejana baptis, serta beberapa elemen interior lainnya. Sementara itu, bagian kaki altar dan bangku-bangku kayu gereja adalah hasil karya Gunawan, seorang desainer beragama Buddha. Di atas balkon di bagian belakang gereja, terpampang relief besar yang memukau yang menampilkan Kristus Raja yang penuh kemuliaan, dengan tangan terbuka lebar sebagai lambang sambutan dan penebusan.

Kolaborasi lintas agama yang ini menjadi cerminan nyata dari semangat persatuan bangsa Indonesia yang turut menghiasi Gereja Kristus Raja. Setiap kontribusi, entah dari seniman Kristen, Muslim, Hindu, maupun Buddha, menjadi bagian dari visi sakral yang dirajut bukan oleh keseragaman iman, melainkan oleh rasa hormat yang tulus dan kerinduan bersama untuk memuliakan Yang Ilahi. Hasilnya adalah sebuah ruang suci yang tak hanya indah secara arsitektural, tetapi juga harmonis secara spiritual yang menjadi sebuah kesaksian hidup akan inklusivitas, penghormatan, dan kekayaan seni komunitas yang bersatu.

Patung Bunda Maria yang terbuat dari perunggu ini dikelilingi oleh air sebagai lambang kesucian

Taplak meja hingga pintu tangga yang terbuat dari baja di gereja ini juga mengangkat tema daun

Naungan Artistik yang Menjaga Kebersamaan

Saat ini, ruang ibadah utama Gereja Kristus Raja berada di lantai dua, sementara lantai dasar difungsikan sebagai area parkir dan tempat Gua Maria. Penempatan ruangan di lantai atas ini tampaknya merupakan hasil pertimbangan terhadap sejarah banjir yang beberapa kali melanda wilayah ini, demi menjaga kesucian ruang ibadah sehingga tetap aman dan terlindungi. Di bagian bawah gereja, Gua Maria dengan patung dari bahan perunggu menjadi titik doa yang tenang, sebuah karya dari Teguh Ostenrik, pematung Indonesia ternama yang dikenal dengan gaya logam ekspresifnya. Sentuhan khasnya yang memadukan abstraksi dan simbolisme spiritual menghadirkan suasana kontemplatif, mengundang umat untuk berdiam dalam doa dan refleksi.

Gereja Kristus Raja bukan sekadar tempat ibadah, melainkan sebuah kesaksian hidup tentang persatuan, kreativitas, dan penghormatan bersama. Dari atap berbentuk daun hingga penyangga yang menyerupai sarang lebah, dari karya seni lintas iman (mulai dari Katolik, Muslim, Hindu, dan Buddha) setiap elemen menyuarakan harmoni yang melampaui batas perbedaan agama. Dalam ruang ibadah yang di lantai atas dan Gua Maria di lantai dasar yang membumi, gereja ini memadukan perlindungan dan kehadiran. Ia menjadi ruang suci tempat iman bertemu seni, dan komunitas terlibat dalam setiap detailnya.




Paroki Pejompongan
Gereja Kristus Raja 

Lokasi Jalan Danau Toba No 56, Bendungan Hilir, Tanah Abang, Jakarta Pusat

Jadwal Misa Mingguan
Sabtu, 17.30 WIB
Minggu, 07.00 WIB, 09.00 WIB, 11.30 WIB* (Misa dalam bahasa Inggris)

Website http://gerejakristusraja.com/ (sedang offline)


 






Comments